By : M Nur Lapong
Saya sebagai warga negara Indonesia sebenarnya agak bingun mendudukkan diri, dan mencari cara menenangkan hati dalam melihat fenomena Copras-Capres (istilah babe Ridwan Saidi dalam pilpres) di era reformasi yang katanya minded demokrasi. Ada akal sehat yang meyakini bahwa semua warga negara yang (berpotensi) harus punya hak dan kesempatan yang sama menjadi (calon) Presiden, karena konstitusi NKRI sebagai negara hukum mewanti wanti azas equality before the law, yakni setiap WNI sama di mata hukum negara, namun celakanya peraturan yang ditetapkan negara yang berlaku dalam hal copras capres justru hak warga negara itu di sunat dengan angka PT. 20 % melalui mekanisme parpol peserta pemilu. Ini kenyataannyang bertolak bekakang dari rasa keadilan dan hak kedaulatan rakyat pada umumnya, dan pengabaian terhadap logika masyarakat yang berkeadilan maupun konsistensi terhadap azas equality before the law sesuai konstitusi.
Judicial review terhadap ketidak adilan negara ini pun telah dilakukan oleh beberapa perwakilan rakyat yang tidak puas terhadap peraturan diskriminatif negara dengn PT. 20% ini untuk copras-capres menjadi 0%. Langkah-langkah konstitusional terhadap UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur ambang batas pencalonan Presiden 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan permohonan uji materi mengenai PT 20 persen ini sudah 17 kali diajukan, tapi kenyataannya (tetap) diputus oleh MK dengan amar putusan ditolak dan tidak dapat diterima.
Melihat fenomena copras-capres (ala) PT 20% ini dengan sikap para hakim hakim MK yang tetap kekeh dengan PT. 20%, tentu patut kita pertanyakan. Apakah ini sudah menjadi konsensus negara sejak awal hingga pada prosesnya oleh pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagai produk politik negara yang harus diamankan juga sebagai produk politik hukum nasional?
Hal ini menjadi pertanyaan saya terkait rencana kawan kawan Forum Alumni Perguruan Tinggi se Indonesia oleh Ketum A. Razak Wawo yang menghubungi saya beberapa waktu lalu untuk melakukan FGD terkait Judicial Review PT. 20% > 0% ini. Jika pertanyaan saya itu benar (ya) demikian, maka rencana kawan kawan Forum Alumni Perguruan Tinggi se Indonesia untuk mengajukan Judicial Review PT. 20 % > 0 % bakal kandas lagi. Sebab perjalanan Judicial Review kasus ini sudah dilakukan bekali kali sejak priode copras capres yang lalu, dan diajukan oleh para Advokat sekaliber Yusril Ihza Mahendra ahli hukum tatanegara dan melibatkan banyak pakar dan ahli toh akhirnya gagal.
Setelah kembali kemaren diputuskan MK terhadap Gugatan yang ke-belasan kalinya dari Judicial review PT. 20% yang dilayangkan Yusril Ihza Mahendra oleh PBB dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) AA La Nyalla Mahmud Mattalitti yang kembali di tolak.
Tanpa di komando entah dari mana mulainya kembali berhamburan suara miris dan caci maki lewat media sosial terhadap para hakim hakim MK, dengan suara kurang lebih sama, “Bubarkan MK!”
Bahkan dari tanah suci Mekkah, mantan Ketum PSSI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti dengan geramnya berujar akan memimimpin Revolusi/gerakan mengembalikan kedaulatan negara ke tangan rakyat.
Mari kita meraba sebenarnya kepentingan Copras Capres (ala) PT 20% maunya apa? Apakah Presidential Threshold 20 persen sejak awal digunakan murni untuk kepentingan bangsa untuk proses demokrasi yang lebih “jurdil” dan berdaulat atau sebagai “siasah” politik kepentingan penguasa?
Coba kita menarik kebelakang cerita PT. 20% ini, saat advocat Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa ambang batas pencalonan presiden 20 persen merupakan kerjaan SBY dan Jusuf Kalla saat berkuasa pada 2009. Dikutip Tribunnews.com, Rabu (22/1/2014), Yusril yang saat itu menjadi pemohon uji materi Undang-Undang (UU) Pemilihan Presiden mengatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden 20 persen adalah kepentingan politik penguasa saat UU itu diterbitkan. “Tahun 2004 Undang Undang Pilpres menekankan hanya 10 persen untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Sekiranya tahun 2004 itu 20 persen, maka tidak ada dalam sejarah Indonesia presiden yang namanya Susilo Bambang Yudhoyono,” ujar Yusril saat berdialog dengan hakim konstitusi di MK, dikutip Tribunnews.com.
Yusril mengatakan, saat itu Demokrat hanya mendapatkan 7,4 persen suara. Kemudian, Demokrat berkoalisi dengan Partai Bulan Bintang yang mendapat perolehan 3,1 persen. Dua partai itu kemudian mengusung SBY berpasangan dengan JK menjadi calon presiden dan wakil presiden 2004-2009. “Ketika mereka sudah berkuasa mereka lupa mereka yang naikkan threshold itu menjadi 20 persen. Itu terjadi ketika Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla jadi presiden. Ada kepentingan apa mereka menaikkan itu 10 persen menjadi 20 persen,” kata Yusril yang saat itu menjabat Ketua Dewan Syuro PBB.
Menarik pula disimak seperti yang diungkapkan oleh Juru Bicara Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang Muhammad Rahmad. Dia mengatakan, pada 2014, SBY juga kembali menginginkan presidential threshold berada pada angka 20 persen. “Perubahan presidential threshold ke 20 persen ini terjadi pada 2009. Perubahan menjadi 20 persen itu adalah keinginan SBY yang saat itu ingin dipilih lagi menjadi presiden periode kedua,” ungkap Rahmad dalam keterangannya, Sabtu (18/12/2021). Ia menuding, SBY menginstruksikan kepada Partai Demokrat untuk melobi partai-partai koalisi agar mendukung dan menyetujui keinginannya. Pada 2009, ucap Rahmad, Demokrat menguasai kursi di DPR RI sebesar 21,7 persen. Menurut dia, SBY ingin kembali maju menjadi presiden periode kedua. Dia menduga, SBY ingin menghambat calon-calon lain melalui presidential threshold 20 persen. Rencana itu disebut mendapat dukungan oleh partai koalisi yang menguasai lebih dari 50 persen kursi DPR.
Kelucuan kelucuan politik karena ambisi dan perselingkuhan politik eksekutif dan legislatif di atas menggambarkan betapa rapuhnya fondasi dari sistem demokrasi bangsa ini yang setiap saat dapat dirubah sesuai kepentingan penguasa oleh Persekongkolan elit elit politik partai atas dasar bagi hasil. Kepentingan PT. 20% benar benar dibagi (happy) untuk penguasa dan partai partai, sisanya 0% untuk seluruh rakyat Indonesia sebagai pemilik hak suara.
Pada akhirnya pesta demokrasi copras capres adalah pesta partai partai untuk menentukan siapa presiden yang mereka mau.
Presidential Threshold 20% dalam pasal 222 UU Pemilu No.7 2017 sebagai produk DPR, ini sangat diskriminatif karena hanya menguntungkan partai politik. Pasal ini jelas melanggar Pasal 6A, Ayat 2, UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pasangan Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik ; tidak ada persyaratan presidential threshold 20%.
Selain itu, DPR tidak mempunyai hak dan wewenang konstitusional apapun untuk mengubah (bunyi) konstitusi, terlebih melalui UU yang dimaksudkan sebagai open legal policy. Karena UU yang dibuat DPR secara hierarki berada di bawah konstitusi, dan tidak bisa meng-koreksi konstitusi.
Fenomena, bahwa Gugatan yang ke-belasan kalinya dari Judicial review PT. 20% yang dilayangkan Yusril Ihza Mahendra oleh PBB dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) AA La Nyalla Mahmud Mattalitti yang kembali di tolak. Semakin membuktikan bahwa kekehnya hakim hakim MK membela PT.20% ini sangat luar biasa, dan hakim hakim MK sudah menjadi super hero PT. 20% .
Terkesan siapapun penggugatnya, fenomena hakim hakim MK sudah ibarat paku tindis tetap kekeh dengan PT. 20%. Hakim hakim MK Sudah sedap dengan menu itu tentunyah.
Fenomena copras-capres ala PT. 20% akan tetap bergulir, Trias politica sebagai pilar rakyat dalam menyampaikan aspirasinya sudah seperti fatamorgana, kepada eksekutif – nasib rakyat hanya di janji, kepada legislatif-nasib rakyat hanya ditampung, kepada yudikatif-nasib rakyat hanya di proses. Kepada ketiga lembaga negara ini nasib rakyat pada dasarnya selalu disandarkan pada penantian yang berharap harap cemas dalam soal keadilan, soal kepastian keadilan hanya baru sebatas dugaan.
Dugaan para aktivis yang pesimis terhadap situasi ini, bahwa trias politica sudah patut di sebut trias corruptica.
Okelah kalau begitu ?
Jika kawan kawan Forum Alumni Perguruan Tinggi se-Indonesia tetap kekeh jadi mengajukan judicial Review yang kesekian kalinya sebagai organ masyarakat Alumni Perguruan Tinggi ke MK mengenai PT. 20% > 0% dan hasilnya pun di (tolak)? Maka sejak sekarang kita mulai memaksakan diri berbesar hati untuk mau menerima dan mulai berprasangka baik saja dengan situasi copras capres PT. 20% ala bin Oligarki ini walau dengan catatan suram.
Itulah fenemona demokrasi Indonesia, copras- capres yang seharusnya sebagai alat proses pergangtian kepemimpinan puncak tanah air secara demokratis, telah digiring menjadi alat kekuasaan partai/oligarki.
Kepada kawan kawan anak bangsa yang nekat jadi kadindat copras capres, baik bagi yang (tidak punya) partai hanya modal populer karena pernah dan masih jadi pejabat, plus yang ngetop karena jadi pengusaha, maka siap siaplah saudara jadi presiden petugas partai. Dan kadindat presiden yang (punya alias pemilik partai) maka siap siaplah saudara jadi presiden yang sibuk berbagi dengan koalisi anda.
Rorotan, 13 Juli 2022
The post Fenomena MK Ngotot PT 20% Klop Dengan Demokrasi ala Partai appeared first on jakartasatu.com.